banner 728x90

Ahli Waris Minta BPN Identifikasi Status Lahan yang Sebabkan Konflik HGU PT Sari Persada Raya Di Huta Padang Sumatera Utara

Medan, metro24sumut.com | Ahli Waris bersama Warga Kelompok Tani  meminta Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Sumatera Utara untuk melakukan identifikasi status lahan yang selama bertahun-tahun bermasalah antara warga dan  PT Sari Persada Raya (SPR) Di Huta Padang Sumatera Utara.

Permintaan itu diungkap salah satu warga pemilik lahan, Viktor Sitorus yang hadir dalam rapat pertemuan warga, ahli waris dan perwakilan PT. SPR di ruang rapat Kanwil BPN Provinsi Sumatera Utara, Rabu (8/11/2023).

Dikatakan Viktor, persoalan lahan sudah berlangsung puluhan tahun tanpa ada penyelesaian dan akibatnya telah terjadi  konflik antara warga dengan  PT SPR.

“‘Bahkan hingga saat ini pun warga masih diteror puluhan preman untuk menakuti warga, makanya kami sangat mengharapkan BPN mampu menjawab status lahan kami yang sudah dirampas sejak lama itu” ujar Viktor kepada wartawan didampingi kuasa hukum Kelompok Tani Masyarakat Peduli Reformasi Agrari (Koptan Maspera), Dr. Aderson Siringo-ringo, SH, MH

Dikatakan Viktor, warga yang tergabung di Koptan Maspera Huta Padang yang mengalami beragam serangan baik fisik maupun psikis sudah terjadi sejak lama dan kini konflik kembali terjadi lagi dari sengketa atas Hak Guna Usaha (HGU) PT SRP yang diklaim meliputi perkampungan masyarakat yang sudah ada sebelumnya.

Hal ini menimbulkan keresahan dan gejolak sosial di tengah-tengah masyarakat.

Dr. Aderson Siringo-ringo, SH, MH, yang mewakili Koptan Maspera, menyatakan keberatan atas HGU PT SRP. Pihaknya bersama rekan-rekan menulis surat kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumatera Utara untuk menyampaikan tuntutan hak dan keadilan atas lahan perkampungan yang dikuasai oleh perusahaan tersebut. Tuntutan tersebut didasarkan pada beberapa dokumen seperti Berita Acara Rapat Anggota Kelompok Tani Masyarakat Peduli, foto copy profil perusahaan, foto copy berkas lainnya yang terdiri dari surat pernyataan, surat pengaduan, dan lain-lain.

Menanggapi hal ini, Dr. Aderson menegaskan bahwa konflik ini tidak hanya berkaitan dengan penguasaan lahan semata, namun juga melibatkan masalah agama dan budaya. Dilaporkan bahwa di lokasi Desa Huta Bagasan, telah terjadi penggusuran makam leluhur secara sepihak oleh perusahaan. Selain itu, sering terjadi penyerangan oleh sekelompok orang tidak dikenal (OTK) kepada warga Desa Huta Bagasan. Hal ini menambah rumit situasi dan mengancam stabilitas masyarakat setempat.

Terkait dengan surat keberatan yang ditujukan kepada BPN Sumatera Utara, Dr. Aderson meminta agar pihak BPN mengambil tindakan serius atas keluhan mereka. Jika tidak ditanggapi dengan serius, maka akan dibawa ke BPN Nasional, Menkopolhukam, dan Menhan. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk memperjuangkan hak dan keadilan bagi Koptan Maspera, serta menciptakan situasi yang aman dan kondusif menjelang Pemilu 2024.

Ketegangan di antara kedua belah pihak semakin terlihat ketika PT SRP melakukan upaya-upaya untuk mempertahankan HGU mereka. Mereka berdalih bahwa telah terjadi kesepakatan dengan sebagian masyarakat yang menyetujui pemberian lahan untuk perusahaan tersebut. Namun, dari pihak masyarakat, hal ini dibantah dan dipertanyakan keabsahan kesepakatan tersebut.

Konflik ini semakin kompleks karena melibatkan isu yang lebih luas, yaitu reformasi agraria di Indonesia. Seorang aktivis masyarakat, Rosen Sinaga, menyatakan bahwa kasus HGU di Huta Padang adalah salah satu contoh kasus yang menggambarkan persoalan agraria di Indonesia. Menurutnya, banyak konflik agraria yang terjadi di Indonesia karena masih adanya pertentangan di antara kepentingan masyarakat lokal, pemilik modal, dan pemerintah. Kasus ini juga menunjukkan bahwa masih rendahnya implementasi reformasi agraria di Indonesia.

Reformasi agraria merupakan sebuah gerakan yang bertujuan untuk mencapai kedaulatan pangan, kedaulatan rakyat atas tanah, dan menciptakan keadilan sosial bagi petani dan masyarakat adat yang memiliki hak ulayat. Namun, pelaksanaannya masih diwarnai dengan berbagai kendala seperti lemahnya pengawasan dan penegakan hukum, serta masih adanya peminggiran terhadap kaum petani dan masyarakat adat.

Masyarakat Peduli Reformasi Agraria (MESPERA) yang ikut berpartisipasi dalam menyelesaikan konflik HGU di Huta Padang juga menyuarakan hal yang sama. Mereka menyesalkan kurangnya peran pemerintah dalam menyelesaikan konflik agraria yang semakin meluas di Indonesia. Menurut MESPERA, terdapat sekitar 3.800 konflik agraria di seluruh Indonesia yang belum terselesaikan hingga saat ini.

Maspera juga menyoroti tentang adanya desakan dari perusahaan-perusahaan besar untuk memperoleh lahan yang menjadi hak masyarakat adat. Hal ini terjadi karena masih adanya kebijakan yang mendukung investasi tanpa mengindahkan hak-hak masyarakat adat. Sebagai contoh, Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengaturan dan Perlindungan Hak-Hak Petani dan Masyarakat Adat tidak memberikan kepastian hukum yang kuat bagi masyarakat adat atas tanah yang mereka garap.

Selain itu, masih ada kebijakan Pemerintah yang mendukung ekspansi perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Perkebunan kelapa sawit merupakan salah satu sektor ekonomi yang dianggap memberikan kontribusi yang besar terhadap perekonomian nasional. Namun, pada kenyataannya, perkebunan kelapa sawit juga menjadi penyebab konflik agraria yang memicu ketidakadilan sosial di sekitarnya. Banyak masyarakat yang kehilangan hak atas tanah yang mereka garap dan mengalami peminggiran.

Dengan adanya konflik seperti HGU PT SRP di Huta Padang, diperlukan upaya konkret dan serius dari pemerintah untuk menyelesaikan konflik agraria yang semakin memanas di Indonesia. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan perlindungan yang lebih kuat bagi hak-hak masyarakat adat atas tanah ulayat mereka. Selain itu, reformasi agraria juga harus segera dilaksanakan dengan mengedepankan prinsip keadilan sosial dan kedaulatan rakyat atas tanah.

Karena tanah adalah sumber kehidupan dan identitas masyarakat adat, maka perlindungan terhadap hak atas tanah tersebut harus dijadikan prioritas utama dalam setiap kebijakan pemerintah. Sebagai bangsa yang majemuk dan multikultural, kita juga harus memperhatikan hak-hak masyarakat adat yang hidup dan bergantung pada tanah mereka. Jangan sampai kepentingan ekonomi semata mengalahkan kepentingan dan hak-hak masyarakat adat.

Harus ada sebuah kesadaran kolektif dari seluruh pihak untuk mendorong terciptanya keadilan sosial dan pemenuhan hak-hak masyarakat adat di Indonesia. Konflik HGU di Huta Padang menjadi peringatan bagi kita bahwa masih banyak persoalan-persoalan agraria yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Jika tidak segera ditangani dengan serius dan adil, maka dampak konflik ini akan semakin meluas dan merugikan masyarakat sekitar. Dengan adanya penyelesaian yang tepat dan adil, diharapkan semua pihak dapat menikmati pemanfaatan lahan yang merata dan adil, serta terciptanya harmoni antara masyarakat, Pemerintah, dan pengusaha dalam pembangunan di Indonesia. (Ari)

Mau punya Media Online sendiri?
Tapi gak tau cara buatnya?
Humm, tenang , ada Ar Media Kreatif , 
Jasa pembuatan website berita (media online)
Sejak tahun 2018, sudah ratusan Media Online 
yang dibuat tersebar diberbagai daerah seluruh Indonesia.
Info dan Konsultasi - Kontak 
@Website ini adalah klien Ar Media Kreatif disupport 
dan didukung penuh oleh Ar Media Kreatif